1.Pengertian Psikolinguistik
Secara etimologi kata psikolinguistik
terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik yakni dua bidang ilmu yang
berbeda, yang masing- masing berdiri sendiri dengan prosedur dan metode yang
berlainan. Namun keduanya sama- sama meneliti bahasa sebagai obyek formalnya.
Hanya obyek materinya yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa
sedangkan psikologi mengkaji prilaku berbahasa atau proses berbahasa.
Robert Lado
seorang ahli dalam bidang pembelajaran bahasa mengatakan bahwa psikolinguistik
adalah pendekatan gabungan melalui psikologi dan linguistik bagi telaah atau
studi pengetahuan bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan bahasa, dan hal-hal
yang ada kaitannya dengan itu yang tidak begitu mudah dicapai atau didekati
melalui salah satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisah atau
sendiri-sendiri.
Emmon Bach dengan
singkat dan tegas mengutarakan bahwa psikolinguistik adalah suatu ilmu yang
meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara atau pemakai suatu bahasa
membentuk atau membangun atau mengerti kalimat bahasa tertentu tersebut.
Paul Fraisse menyatakan
bahwa :” Psycholinguistics is the study of relations between our needs for
expression and communication and the means offered to us by a language learned
in one’s childrood and later”. Psikolinguistik adalah telaah tentang
hubungan antara kebutuhan – kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi
melalui bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan tahap-tahap
selanjutnya.
Psikolinguistik
mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang
jmengucapkan kalimat- kalimat yang didengarkannya pada waktu berkomunikasi dan
bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia. Maka secara teoritis
tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang secara
linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakekat bahasa
dan pemerolehannya. Dengan kata lain psikolinguistik mencoba menerangkan
hakekat struktur bahasa dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada
waktu bertutur dan pada waktu memahami kalimat-kalimat peneturan itu.
Dikaitkan dengan komunikasi,
psikolinguistik memusatkan perhatian pada modifikasi pesan selama berlangsungnya
komunikasi dalam hubungan dengan ujaran dan penerimaan atau pemahaman ujaran
dalam situasi tertentu. Berdasarkan batasan- batasan yang disebutkan diatas,
terdapat pandangan sebagai berikut :
Psikolinguistik
membahas hubungan bahasa dengan otak.
Psikolinguistik
berhubungan langsung dengan proses mengkode dan menafsirkan kode.
Psikolinguistik
sebagai pendekatan
Psikolinguistik
menelaah pengetahuan bahasa, pemakaian bahasa dan perubahan bahasa.
Psikolinguistik
membicarakan proses yang terjadi pada pembicara dan pendengar dalam kaitannya
dengan bahasa.
2.Obyek Dan Ruang lingkup
Psikolinguistik
Telah dijelaskan diatas bahwa
psikolinguistik sebenarnya gabungan dua disiplin ilmu yakni gabungan linguistik
dengan psikologi. Obyek linguistik adalah bahasa dan obyek psikologi adalah
gejala jiwa.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
obyek psikolinguistik adalah bahasa juga, tetapi bahasa yang berproses dalam
jiwa manusia yang tercermin dengan gejala jiwa. Dengan kata lain, bahasa yang
dilihat dari aspek-aspek psikologi. Orang yang sedang marah akan lain
perwujudan bahasanya yang digunakan dengan orang yang sedang bergembira. Titik
berat psikolinguistik adalah bahasa, dan bukan gejala jiwa. Itu sebabnya dalam
batasan- batasan psikolinguistik selalu ditonjolkan proses bahasa yang terjadi
pada otak, baik proses yang terjadi diotak pembicara maupun proses yang terjadi
diotak pendengar.
Dengan mencoba menganalisis obyek
linguistik dan obyek psikologi dan titik berat kajian psikolinguistik, dapat
ditarik kesimpulan bahwa ryang lingkup psikolinguistik mencoba memberikan
bahasa dilihat dari aspek psikologi dan sejauh yang dapat dipikirkan oleh
manusia. Itu sebabnya topik-topik penting yang menjadi lingkupan
psikolinguistik adalah :
~
Proses bahasa dalam komunikasi dan pikiran.
~
Akuisisi bahasa
~
Pola tingkah laku berbahasa
~
Asosiasi verbal dan persoalan makna.
~
Proses bahasa pada orang yang abnormal,
misalnya anak tuli.
~
Persepsi ujaran dan kognisi.
3. Subdisiplin Psikolinguistik
Psikolinguistik telah menjadi bidang
ilmu yang sangat luas dan kompleks dan berkembang pesat sehingga melahirkan
beberapa subdisiplin psikolinguistik. Diantara subdisiplin psikolinguistik
adalah sebagai berikut :
a.
Psikolinguistik Teoritis
Subdisiplin ini membahas teori-teori
bahasa yang berkaitan dengan proses- proses
mental manusia dalam berbahasa. Misalnya dalam rancangan fonetik,
rancangan pilihan kata, rancangan sintaksis, rancangan wacana, dan rancangan
intonasi.
b.
Psikolinguistik Perkembangan
Subdisiplin ini berkaitan dengan proses
pemerolehan bahasa, baik pemerolehan bahasa pertama maupun pemerolehan bahasa
kedua. Subdisiplin ini mengkaji proses pemerolehan fonologi, proses pemerolehan
simantik dan proses pemerolehan sintaksis secara berjenjang, bertahap dan
terpadu.
c.
Psikolinguistik Sosial
Subdisiplin ini berkenaan dengan
aspek-aspek social bahasa. Bagi suatu manyarakat bahasa, bahasa itu bukan
hanya merupakan suatu gejala dan identitas social saja, tetapi juga merupakan
suatu ikatan bathin dan nurani yang sukar ditinggalkan.
d.
Psikolinguistik Pendidikan
Subdisiplin ini mengkaji aspek-aspek
pendidikan secara umum dalam pendidikan formal di sekolah. Umpamanya peranan
bahasa dalam pengajaran membaca, pengajaran dalam kemahiran berbahasa, dan
pegetahuan mengenai peningkatan kemampuan berbahasa dalam proses memperbaiki
kemampuan menyampaikan pikiran dan perasaan.
e.
Psikolinguistik Neurology (
neuropsikolinguistik )
Subdisiplin ini mengkaji hubungan
antara bahasa, berbahasa dan otak manusia. Para pakar neurology telah berhasil
menganalisis struktur biologis otak serta telah memberi nama pada bagian
struktur otak itu. Namun ada pertanyaan yang belum dijawab secara lengkap yaitu
apa yang terjadi dengan masukan bahasa dan bagaimana keluaran bahasa
diprogramkan dan dibentuk dalam otak itu.
f.
Psikolinguistik Eksperimen
Subdisiplin ini meliputi dan melakukan
eksperimen dalam semua kegiatan bahasa dan berbahasa pada satu pihak dan prilaku
berbahasa dan akibat berbahasa pada pihak lain.
g.
Psikolinguistik Terapan
Sundisiplin ini berkaitan dengan
penerapan dari temuan enam subdisiplin psikolinguistik diatas kedalam bidang
tertentu yang memerlukannya. Yang termaksuk sub disiplin ini ialah psikologi,
linguistik, pertuturan dan pemahaman, pembelajaran bahasa, pengajaran membaca
neurology,psikistri, komunikasi dan sastra.
4. Induk Disiplin Psikolinguistik
Karena nama psikolinguistik merupakan
gabungan dari psikologi dan linguistik, maka timbul pertanyaan : apa induk
disiplin psikolinguistik itu, linguistik atau psikologi. Beberapa pakar
berpendapat, psikolinguistik berinduk pada psikologi karena istilah itu
merupakan nama baru dari psikologi bahasa yang telah dikenal pada beberapa
waktu sebelumnya.
Namun di Amerika Serikat pada umumnya,
psikolinguistik dianggap sebagai cabang dari linguistik, meskipun Noam
Chomsky, tokoh linguistik transformasi yang terkenal itu, cenderung
menempatkan psikolinguistik sebagai cabang psikologi. Di prancis pada tahun
enam puluhan, psikolinguistik dikembangkan oleh pakar psikologi. Sedangkan di
Inggris psikolinguistik dikembangkan oleh pakar linguistik yang bekerjasama
dengan beberapa pakar psikologi dari Inggris dan Amerika Serikat. Di Rusia
psikolinguistik telah dikembangkan oleh para pakar linguistik pada Institut
Linguistik Moskow. Sebaliknya di Rumania ada kecenderungannya menempatkan
psikolinguistik sebagai satu disiplin mandiri, tetapi penerapannya lebih banyak
diambil oleh linguistik.
Bagaimana di Indonesia? Tampaknya
psikolinguistik dikembangkan dibidang linguistik pada fakultas pendidikan
bahasa dan belum pada program nono kependidikan bahasa. Psikolinguistik yang
dikembangkan dalam pendidikan bahasa sudah seharusnya diserasikan dengan
perkembangan linguistik dan perkembangan psikologi. Untuk itu dituntut adanya
penguasaan yang seimbang akan teori psikologi. Lalu yang patut dikembangkan
dalam pendidikan bahasa adalah subdisiplin psikolinguistik perkembangan dan
psikolinguistik pendidikan.
5. Pokok Bahasan Psikolinguistik
Didalam Kurikulum Pendidikan Bahasa
pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan mata kuliah psikolinguistik
dimasukkan dalam kelompok mata kuliah proses belajar-mengajar, dan bukan
pada kelompok mata kuliah linguistik atau kebahasaan. Hal ini karena pokok
bahasan dalam psikolinguistik itu erat kaitannya denga kegiatan proses belajar
mengajar bahasa itu yang mencakup antara lain masalah berikut antara lain :
1.
Apakah sebenarnya bahasa itu? Apakah
yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia mampu berbahasa? Bahasa itu terdiri
dari komponen apa saja?
2.
Bagaimana bahasa itu lahir dan mengapa
ia harus lahir? Dimanakah bahasa itu berada atau disimpan ?
3.
Bagaimana bahasa pertama ( bahasa ibu)
diperoleh oleh seorang kanak-kanak? Bagaimana perkembangan penuasaan bahasa itu
? bagaimanakah bahasa kedua itu dipelajari? Bagaimana seseorang bisa menguasai
dua tau tiga atau banyak bahasa.
4.
Bagaimana proses penyusunan kalimat
atau kalimat-kalimat?.
5.
Proses apakah yang terjadi didalam otak
waktu berbahasa.
6.
Bagaimanakah bahasa itu tumbuh dan mati
? bagaimana proses terjadinya sebuah dialek? Bagaimana proses berubahnya suatu
dialek menjadi bahasa baru?
7.
Bagaimana hubungan bahasa denngan pemikiran
?. bagaimana pengaruh kedwibahasaan atau kemultibahasaan dengan pemikiran dan
kecerdasan seseorang?
8.
Mengapa seseorang menderita penyakit
atau mendapat gangguan berbicara sepert afasia dan bagaimana menyembuhkannya ?
9.
Bagaimana bahasa itu harus diajarkan
supaya hasilnya baik ?
6. Bahasa Dan Pikiran
Kenyataan menunjukkan bahwa bahasa
digunakan untuk mengungkapkan pikiran. Seseorang yang sedang memikirkan sesuatu
kemudian ingin menyampaikan hasil pemikiran itu, ia mengunakan alat dalam hal
ini bahasa. Langacker mengatakan “ berfikir adalah aktifitas mental
manusia”. Aktivitas mental ini akan berlangsung apabila ada stimulus artinya
ada sesuatu yang menyebabkan manusia untuk berfikir. Dalam kaitan ini Langacker
mengatakan bahwa pikiran dikondisi oleh kategorik linguistik dan pengalaman
yang dikodekan dalam wujud konsep kata yang telah tersedia.
Seorang sarjana terkenal yang melihat
hubungan bahasa dengan pikiran yakni Benjamin Whorf yang bersama-sama
dengan Edward Sapir mengemukakan hipotesis yang terkenal dengan nama Hipotesis
Whorf-Sapir ( Sapir Whorf Hypouthesis) menyatakan bahwa pandangan
dunia suatu masyarakat ditentukan oleh struktur bahasanya. Adapun tesis Whorf
mengenai hubungan antara bahasa dan pikiran mencakup dua hal yakni :
1.
Masyarakat linguistik yang berbeda,
merasakan dan memahami kenyataan dengancara-cara yang berbeda.
2.
Bahasa yang dipakai dalam suatu
masyarakat membantu untuk membentuk struktur kognitif para individu pemakai
bahasa tersebut.
Bahasa dapat memperluas pikiran. Dalam
hal seperti ini seseorang harus banyak bergaul dan banyak membaca yang
menyebabkan pandangan dan pikirannya bertambah luas. Pergaulan kita dengan para
ilmuwan, kegiatan seseorang banyak membaca pasti akan memperluaskan wawasan dan
pikiran tentang banyak hal. Ketika seseorang mendengar pidato atau ceramah
tentu banyak istilah atau konsep yang ia dengar. Konsep dan istilah-istilah itu
menambah pembendaharaan bahasanya sekaligus memperluas pikirannya. Demikian
pula dengan kegiatan membaca, apa yang belum diketahui akan diketahui, bahkan
apa yang telah diketahui akan lebih mendalam dan meluas, dengan kata lain
pikiran bertambah luas karena aktivitas yang berhubungan dengan bahasa, dengan
menguasai banyak bahasa pikiran bertambah luas.
Berbeda dengan pendapat Sapir dan
Whorf, Jean piaget sarjana Prancis berpendapat bahwa justru
pikiranlah yang membentuk bahasa. Tanpa pikiran bahasa tidak akan ada.
Pikiranlah yang menentukan aspek-aspek sintaksis dan leksikon bahasa, bukan
sebaliknya. Menurut teori pertumbuhan kognisi, seorang anak mempelajari segala
sesuatu mengenai dunia melalui tindakan-tindakan dari perilakunya kemudian baru
melalui bahasa. Piaget yang mengembangkan teori pertumbuhan kognisi
menyatakan jika seorang anak dapat menggolong-golongkan sekumpulan benda-benda
dengan cara yang berlainan sebelum mereka dapat menggolong-golongkan benda
tersebut dengan mengunakan kata-kata yang serupa dengan benda-benda tersebut,
maka perkembangan kognisi telah terjadi sebelum dia dapat berbahasa.
Biasanya kajian tentang hubungan bahasa
dan pikiran dikaitkan dengan tiga nama besar seperti Boas yang dikenal
sebagai Bapak anthropology Amerika , Sapir dan Whorf yang terkenal
dengan teorinya bahwa cara berfikir seseorang sangat ditentukan oleh struktur
bahasa ibunya ( native language ). Teori ini kemudian dikenal sebagai Sapir
Whorf Hipothesis ( Hipotesis Sapir Whorf). Ada juga yang menyebutkan
sebagai Teori Relativitas Bahasa. Menurut Boas, Sapir dan
Whorf manusia merupakan korban struktur bahasa ibunya ( prisoners of the
structure native language ).
Sebagai
sebuah teori wajar hipotesis Sapir dan Whorf juga mendapatkan
sanggahan dari ahli yang lain antara lain :
1.
Jika pikiran manusia itu ditentukan
oleh bahasa ibunya, bagaimana mungkin orang dari latar belakang yang
berbeda-beda, tentu dengan struktur bahasa yang berbeda pula, bisa
berkomunikasi.
2.
manusia didunia ini umumnya bilingual
bahkan ada yang multilingual sejak kecil. Apakah kita bisa mengatakan mereka
ini memiliki perangkat pikiran ( thoughat compartment ) yang berbeda
karena struktur bahasanya masing-masing?. Tentu saja tidak.
3.
Fakta bahwa kategori tertentu tidak ada
dalam bahasa itu tidak berarti bahwa penutur asli bahasa itu tidak dapat
memahami kategori tersebut. Misalnya system gramatikal yang menandai sumber
informasi pada bahasa suku Hopi dapat dijelaskan dalam bahasa Inggris kendati
tidak ada dalam sestem gramatikal bahasa Inggris. Akhirnya system gramatikal
semua bahasa didunia memilki pola yang secara universal sama, walaupun sekilas
tampak beda. Disini kelemahan hipotesis Sapir dan Whorf tampak. Namun
demikian, banyak ahli sekarang yang menggunakan hipotesis Sapir dan Whorf ini
untuk keperluan study mereka. Terkait dengan hipotesis ini, banyak ahli bahasa
yang berpendapat bahwa bahasa dapat mempengaruhi pikiran manusia dan sebaliknya
pikiran manusia juga bisa mempengaruhi struktur bahasa. Dengan demikian,
pikiran dan bahasa berada dalam hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi,
tetapi bukan pada hubungan sebab akibat. Uraian berikut barangkali bisa
mempertegas kembali hubungan antara bahasa dengan pikiran.
Disemua budaya terdapat hubungan antara
pikiran dan budaya. Ketika anak mulai belajar bahasa orang tuanya, mereka juga
mulai belajar menyesuaikan diri dengan budaya orang tuanya. Ini yang disebut
dengan Proses Inkulturasi. Pada saat ini anak mulai belajar dialek orang
tua dan teman bermainnya. Bagi peminat bahasa memahami hubungan antara bahasa
dan budaya dan melihat bagaimana keduanya berintekrasi tentu sangat penting.
Terkait dengan dialek, para ahli sampai kepada kesepakatan bahwa tidak ada
pertanyaan yang begitu menarik pada study linguistik selain sejauh mana bahasa
atau dialek mempengaruhi bagaimana seseorang berfikir. Dalam dunia pendidikan,
orang berasumsi bahwa bahasa menentukan pikiran seseorang. Bahasa dianggap
sebagai factor diterminan yang menentukan lancar tidaknya nalar atau pikiran
seseorang. Sedangkan yang lain berasumsi bahwa bahasa hanya mempengaruhi atau
tidak menentukan pikiran seseorang.
Menurut Vygotsky, ketika anak
mulai belajar bahasa pada saat itu pula dia mulai mengembangkan kemampuan mengunggapkan
sesuatu yang menghubungkannya dengan proses berfikir yang disebut dengan Inner
Speech atau Egocentric Speech. Kita bisa memperhatikan seorang anak
sendiri sambil menata permainan disekelilingnya. Ini menunjukkan bahwa pikiran
mempengaruhi bahasa anak tersebut. Kemampuan inipun sebenarnya juga dimiliki
orang dewasa misalnya ketika sedang menyelesaikan persoalan matematika, dia
sambil berfikir, bicara sendiri seolah ada orang disekelilingnya. Disini
jelaslah bahwa pikiran yang sedang berlangsung karena mengerjakan soal
matematika tersebut berpengaruh pada bentuk ujaran yang diunggapkan.
Dari kedua pendapat ini, jika
dikolaborasi maka akan menghasilkan suatu pendapat bahwa hubungan antara
bahasa dan pikiran adalah hubungan timbal-balik, dimana tidak hanya bahasa yang
membentuk atau menentukan pikiran, namun pikiran juga membentuk bahasa.
Seseorang memerlukan bahasa untuk mengungkapkan pikiran-pikiran yang ada
diotaknya, begitu juga sebaliknya dalam berbahasa diperlukan pikiran sehingga
proses berbahasa itu dapat berlangsung dengan baik.
Dengan demikian hubungan anrata bahasa
dan pola pikiran semakin menarik banyak peminat dari berbagai disiplin ilmu.
Jauh sebelumnya tokoh seperti Boas, Sapir dan Whorf
telah memulai memeloporinya dengan mengajukan teori yang menyangkut
masalah hubungan bahasa dan pola piker. Adalah sebuah kewajaran bahwa teorinya
kemudian memperoleh teori tandingan dari ahli yang lain. Ini semakin
menunjukkan persoalan bahasa dalam kaitannya dengan pola piker penuturnya
sangat menarik dan menjadi kajian yang luas bukan hanya bagi ahli bahasa tetapi
juga antropologii, psikolog dan ahli pendidikan.
Kalaupun belum mencapai kata sepakat
yang jelas dari uraian diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa perkembangan budaya
suatu masyarakat berimplikasi pada perkembangan bahasa masyarakat penuturnya
dengan munculnya kosa kata dan pola kalimat yang baru.
Perkembangan bahasa juga dipandang
menyebabkan perkembangan budaya sebab peristiwa berbahasa dianggap sebagai
peristiwa budaya. Karena antara ilmu bahasa ( linguistik ) dan ilmu
budaya ( antropologi) jelas tidak bisa dipisahkan . keduanya saling
mempengaruhi dalam hubungan saling terkait, bukan hubungan sebab akibat.
Penutur bahasa idealnya mengetahui budaya masyarakat pemilik bahasa yang
bersangkutan agar tidak terjadi kesalahan komunikasi yang dapat saja
menimbulkan kesalahpahaman, ketersinggungan dan bahkan pertengkaran. Sebab
berbahasa bukan sekedsar mengucapkan kata yang diatur sedemikian rupa menurut
kaidah bahasa atau gramatika. Tetapi berbahasa menyiratkan keluhuran makna baik
makna social maupun cultural dari kata yang diucapkan.
7.Pengetahuan Tentang Ilmu Bahasa.
Linguistik ( Latin ; lingua berarti
bahasa ) adalah ilmu yang mempergunakan bahasa sebagai obyek study. Anggapan
dasarnya adalah bahwa bahasa itu merupakan gejala atau fenomena alam yang
berdiri sendiri terlepas dari fenomena yang lain. Karena itu bahasa dapat
dipelajari secara tersendiri, tanpa memperhatikan aspek-aspek diluar bahasa.
Obyek utama dari linguistik adalah bahasa sedangkan tujuan adalah untuk
mengkaji bahasa sebagai bahasa dan untuk bahasa itu sendiri yaitu
bagaimana sifat-sifat dan tata cara atau perilaku bahasa itu sendiri.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kridalaksana
(dalam Nikelas, 1988:10), Ilmu pengetahuan itu dikelompokkan kedalam tiga
bidang besar yaitu :
1.Ilmu
pengetahuan alam termasuk didalamnya ilmu kimia, biologi, botani,
geologi,astronomi, dan sebagainya.
2.Ilmu pengetahuan social budaya yang
juga disebut dengan pengetahuan kemanusiaan termasuk didalamnya antropologi,
sosiologi, ilmu pengetahuan kesusteraan, ekonomi dan sebagainya.
3.Ilmu pengetahuan formal juga disebut
dengan pengetahuan apreori, termasuk didalamnya logika dan matematika.
Berdasarkan kelompok pengetahuan
tersebut, linguistik dapat dikelompokkan kedalam ilmu social budaya ( humanities),
selanjutnya Kridalaksana menjelaskan bahwa sekalipun linguistik
merupakan salah satu ilmu social atau kemanusian, namun kedudukannya sebagai
ilmu yang atonom maka tidak perlu diragukan lagi, karena linguistik menyelidiki
bahasa sebagai data utama. Dan juga, bahwa linguistik sudah mengembangkan
seperangkat prosedur yang sudah dianggap standar.
Jika kita ingin mempelajari sesuatu
obyek, maka ada tiga hal yang perlu diperhatikan adalah pertama ialah
apakah obyek itu ?. dengan perkataan lain orang bertanya tentang apa itu bahasa
atau hakekat bahasa itu ?. dengan istilah ilmu itu dikatakan Ontology
Bahasa.
Secara ontology, ilmu bahasa mengkaji
berbagai gejala bahasa, dan tali-temali bahasa dengan gejala lain. Wardhaugh
(1986: 1) menyebutkan “…a language is what the members of a particular society
speak”. Sebelumnya Saussure (1973: 16) mendefinisikan bahasa sebagai “..
a system of signs that express ideas”. Jadi, pada hakikatnya bahasa adalah
lisan. Dengan demikian, bahan kajian primer ilmu bahasa adalah bahasa lisan,
sedangkan bahasa tulisan merupakan bahan kajian sekunder (Verhaar, 1976: 3).
Mengapa bahasa tulisan menjadi sekunder? Para tokoh hermeneutika kontemporer
seperti Gadamer memandang bahwa menurut kodratnya bahasa adalah “lisan”,
kemudian disusul bahasa tulis demi efektivitas dan kelestarian bahasa tutur.
Perubahan bahasa dari tutur ke tulis mengandung banyak kelemahan, misalnya
kehilangan konteks dan daya ekspresi penuturnya (Rahardjo, 2005: 84).
Pertanyaan yang kedua ialah
bagaimana orang mempelajari bahasa itu atau menganalisis atau menelaah bahasa
itu. Secara ilmiah disebut Epistemologi Bahasa . dalam
epistemology bahasa para penganalisis bahasa mencari dan menentukan
metode study bahasa. Maka lahirlah metodologi analisis bahasa. Secara
alamiah dikatakan dengan Aksiologi Bahasa. Dengan berpedoman pada
pengetahuan akan ontology bahasa, epistemology bahasa dan aksiology bahasa itu
barulah orang dapat memulai study tentang bahasa.
Sebagai alat utama komunikasi dan
interaksi yang hanya dimiliki manusia, bahasa memiliki ciri dan kekhasan
sendiri yang berbeda dengan bidang pengetahuan yang lain, baik dari aspek
ontologik, epsitemologik maupun aksiologik. Pemahaman ontologik yang mencakup
objek dan wilayah kajian, pemahaman epistemologik yang mencakup cara
mengkajinya dan pemahaman aksiologik yang mencakup tujuan dan manfaat kajian
penting dikuasai oleh setiap peneliti atau pengkaji bahasa. Kekeliruan
penetapan objek dan wilayah kajian akan berakibat sangat fatal; bisa jadi
penelitian yang semula dirancang sebagai penelitian bahasa bergeser ke
penelitian bidang lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi dan
sebagainya.
Berdasarkan objek kajiannya, bahasa
dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Kajian internal bahasa dilakukan
terhadap struktur intern bahasa seperti struktur fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik, dan teks atau wacana. Kajian secara internal ini akan
menghasilkan perian-perian bahasa itu saja tanpa ada kaitannya dengan masalah
lain di luar bahasa dan menggunakan teori dan prosedur yang ada dalam disiplin
linguistik saja. Orang menyebutnya sebagai disiplin linguistik murni (pure
linguistics). Karena hanya mencakup wilayah atau objek kajian di dalam
bahasa, kajian demikian sering disebut kajian mikrolinguistik (microlinguistics).
Sebaliknya,
kajian secara eksternal berarti kajian itu dilakukan terhadap hal-hal atau
faktor-faktor di luar bahasa, tetapi berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh
para penuturnya di masyarakat. Pengkajian secara eksternal ini akan
menghasilkan rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kegunaan
dan penggunaan bahasa dalam segala kegiatan manusia di masyarakat. Kajian
secara ekternal tentu saja tidak saja menggunakan teori dan prosedur linguistik
saja, tetapi juga menggunakan teori dan prosedur disiplin lain yang berkaitan
dengan disiplin lain seperti sosiologi, psikologi, antropologi dan sejenisnya.
Jadi kajian atau penelitian bahasa secara eksternal melibatkan dua disiplin
atau lebih, sehingga wujudnya berupa ilmu antar-disiplin (interdisciplinary
studies) seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik,
antropolinguistik, etnolinguistik, dan linguistik komputasi. Karena
mencakup objek kajian di luar bahasa, kajian demikian lazimnya disebut
makrolinguistik (macrolinguistics).
8.Pengajaran Bahasa
Pengajaran bahasa disini
maksudnya adalah usaha pengajar ( guru, dosen, instruktur ) dan lembaga untuk
membantu orang belajar bahasa. Dalam definisi seperti ini yang menjadi pusat
perhatian adalah “ belajar” dan semua kegiatan pengajar dan materi pelajaran
yang memungkinkan dan membantu kegiatan belajar itu adalah pemudahan ( bahasa
inggris: facilitation). Proses dan hasil dari usaha seperti ini oleh banyak
orang lebih suka disebut dengan pembelajaran daripada pengajaran. Implikasinya
ialah bahwa makin banyak perhatian diberikan pada materi pelajaran dan motivasi
pelajar dan makin berkurang pada metode dan teknik mengajar, dalam arti
memanipulasi atau mengatur tindakan pelajar secara mekanis.
Kalau seseorang belajar, tentu ada yang
dipelajarinya. Dalam belajar bahasa, yang dipelajari ialah suatu “ keterampilan
menggunakan unsure-unsur bahasa untuk berkomunikasi”. Dalam kurikulum 1984,
pandangan dan dasar pemikiran ini diwujudkan dan diterapkan dalam merakit GBPP,
khususnya GBPP Bahasa Indonesia dan GBPP Bahasa Inggris, yang komponen
korikulernya terdiri atas dua bagian yaitu “ Unsur-Unsur Bahasa Dan Kegiatan
Berbahasa” dan yang berakitan materinya dan cara penyajiannya mengikuti “
pendekatan komunikatif”. Unsure bahasa yang diberikan ialah: ( 1) lafal dan
ejaan, ( 2 ) tata bahasa, ( 3 ) kosakata. Kegiatan berbahasa diberikan ialah (
1) membaca / pragmatic dan untu bahasa Indonesia saja, apresiasi sastra.
Pembelajaran bahasa seperti ini adalah usaha membuat pelajar terampil
menggunakan unsure bahasa secara wajar untuk berkomunikasi.
9.Psikolinguistik
pada pembelajaran Bahasa
Bahasa merupakan cirri khas manusia dan
hal itu merupakan hal yang komplek dan merupakan obyek study bagi kegiatan ilmu
yang bermacam-macam sesuai dengan pandangan ilmuwan yang mempelajarinya. Bagi
ahli filsafat, bahasa mungkin merupakan alat untuk berfikir, bagi ahli logika
mungkin suatu kalkulus, bagi ahli ilmu jiwa mungkin jendela yang kabur untuk
dapat ditembus guna melihat proses berfikir dan ahli untuk bahasa suatu system
lambang yang arbitrer.
Dengan begitu bahasa juga dapat
diselidiki secara berbeda pula misalnya sebagai gejala individu ataupun gejala
social. Dalam hal ini yang pertama penyelidikan bahasa itu merupakan bagian
dari ilmu jiwa umum, sehingga kategori-kategori deskriptif seperti ingatan,
keterampilan dan persepsi dapat dipakai untuk menerangkan tingkah laku yang
bersifat kebahasaan maupun non kebahasaan.Sebagai gejala social, bahasa
merupakan bagian dari sosiologi umum, sehingga kategori-kategori deskriptif
yang dipakai untuk menerangkan bahasa adalah istilah sosiologi pula seperti
struktur social kebudayaan, status dan peranan dan sebagainya. Dengan demikian
study kebahasaan diwarnai oleh pengaruh dari luar dan inilah yang menimbulkan
dorongan agar tercipta adanya otonomi atau kebebasan ilmu bahasa ( IB) dari
ilmu yang lain.
Di
dalam mempertimbangkan penerapan teori-tiori linguistik dalam pembelajaran
bahasa, dimungkinkan teori berasal dari linguistik teoritis dengan aliran yang
ada seperti pembelajaran bahasa structural atau tranformasi, mungkin pula dari
psikolinguistik maupun sosiolinguistik. Yang terpenting ialah bahwa teori itu
dapat dimanfaatkan untuk pembenaran pelaksanaan pembelajaran bahasa.
Ilmu bahasa teoritis dengan aliran Ilmu
Bahasa ( IBS) misalnya menekankan sifat bahasa yang ada pada dasarnya
diucapkan. Bukti diajukan seperti semua manusia itu berbicara, meskipun tidak
mengenal tulisannya dan anak belajar berbicara dulu dan baru kemudian belajar
membaca dan menulis. Sebagai konsekuensinya, Pembelajaran Bahasa ( PB )
menekankan penguasaan bahasa lisan dalam bahasa asing. Tulisan bahasa tidak
diajarkan pada tingkat permulaan dan ditunda sampai murid menguasai bahasa
lisannya dengan baik. Sebagai dasar pertimbangan memperkenalkan bahasa dan
tulisan dengan waktu yang bersamaanhanyalah menimbulkan kesukaran rangkap
karena murid dihadapkan pada dua kesukaran belajar selakigus.
Ilmu Bahasa Struktural ( IBS) juga
menekankan sifat bahasa yang unik, yang mengandung pengertian bahwa bahasa itu
berbeda satu dari yang lain. Implikasinya ialah bahwa orang yang belajar bahasa
asing akan menjumpai kesukaran yang terutama disebabkan oleh adanya unsure yang
berbeda antara bahasa ibu murid dengan bahasa sasaran. Oleh karena itu, dalam
pembelajaran bahasa ( PB) perlu dilakukan analisis kontrastif antara kedua
bahasa untuk identifikasi unsure yang berbeda agar dapat dipersiapkan
sebelumnya langkah-langjkah untuk mengatasinya.
Bahasa terdiri dari dua aspek yakni
aspek pengetahuan dan aspek keterampilan, yang keduanya harus diperhatikan dan
dikembangkan dalam Pembelajaran Bahasa (PB). Murid yang telah memahami kaidah,
baik itu melalui penjelasan atau bimbingan guru agar murid menemukan sendiri,
segera saja diberi kesempatan untuk mengunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
Guru tidak dianjurkan untuk banyak berteori mengenai bahasa, karena
Pembelajaran Bahasa (PB) lebih ditekankan pada penggunaan bahasa dalam
pergaulan antar manusia, mengingat bahasa adalajh juga suatu gejala social.
Inilah suatu prinsip yang ditekankan oleh Ilmu Psikolinguistik maupun
Sosiolinguistik.
Ilmu psikolinguistik mengajarkan bahwa
bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan maksud pikiran atau
perasaan. Sehingga pembelajaran bahasa hendaknya bukan dimaksudkan agar murid
hanya menguasai bahasa itu sebagai suatu sestem belaka yang berdiri sendiri,
hingga sampai pada apa yang disebut taraf penguasaan keterampilan memanipulasi
bahasa saja. Banyak guru bahasa yang mengeluh bahwa murid yang telah sampai
pada taraf penguasaan keterampilan bahasa ( skill getting phase ) yakni
mengunakan bahasa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Mungkin ini disebabkan
oleh perhatian guru yang terlalu menitik beratkan pada kemampuan murid
menghasilkan kalimat yang betul secara gramatikal, sehingga kurang memberi
kesempatan pada murid untuk menyatakan kemampuan atau isis hati dengan kalimat
yang telah dipelajari itu.
Berdasarkan pengalaman ini sebaiknya
latihan berkomunikasi diberikan sedini mungkin, bila perlu bersamaan dengan
latihan kebahasaan untuk membuat kaliamat yang betul. Munkin sebaiknya guru
jangan terlalu bersifat hiper-korek, yang meminta murid menghasilkan kalimat
yang betul saja hingga mengorbankan arus komunikasi. Ini pun juga tidak berarti
bahwa murid dihadapkan pada situasi yang rumit sehingga titik tolak
berkomunikasi, melainkan dipilihkan situasi yang cukup sederhana dan dalam
batas kemampuan murid untuk berkomunikasi. Disinilah letak seninya, guru
dituntut untuk dapat kreatif dan inovatif dalam menciptakan situasi yang serasi
dengan kemampuan murid, agar murid terdorong melatih menggunakan bahasa sasaran
sebagai media komunikasi.
Seseorang
belajar bahasa dan dikatakan mampu berbahasa apabila pertama mempunyai
pemilikan tentang bahasa tersebut yang oleh Noam Chamsky dikatakan “
a speaker’s competence, his knowledge of the language” .dan kedua
mempunyai kemampuan penggunaan bahasa tersebut yang oleh Noam Chomsky dikatakan
“his performance, his actual use of the language in concrete situation “.
Adapun pertimbangan penerapan
psikolinguistik pada pembelajaran bahasa adalah pada :
- Kelompok pembuat dan penentu kebijaksanaan bahasa. Selain pertimbangan psikolingusitik juga pertimbangan sosiolinguistik.
- Kelompok pendidik Guru. Pendidik guru harus dapat memberikan informasi tentang metode dan teknik baru yang efektif dalam pengajaran bahasa.
- Kelompok guru. Guru akan melihat konsekuensi pengajaran bahasa. Hasil atau konsekuensi ini ditentukan oleh interaksi ( a) guru, ( b) siswa,( c ) metode dan teknik, (d ) materi dan isi pengajaran bahasa.
- Kelompok penguasaan alat-alat pendidikan khususnya pengajaran bahasa. Dengan kemajuan teknologi, alat Bantu pengajaran pun dikembangkan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah penghasil alat laboratorium bahasa, film bahasa dan lain sebagainya.
Dengan
adanya berbagai pertimbangan diatas, hendaknya dapat kita upayakan bahwa dalam
pembelajaran bahasa diperlukan kerjasama berbagai pihak untuk merealisasikan
sebuah hasil kongkrit yang mungkin sampai saat ini kurang yakni pertimbangan psikolinguistik
sebagai suatu ilmu yang mengajarkan bagaimana penggunaan bahasa itu secara
actual dalam berkomunikasi.
Dari paparan diatas dapat kita garis
bawahi bahwa psikolinguistik sebagai bidang ilmu yang menitikberatkan pada
penerapan bahasa secara actual dan komunikasi harus bisa terwujud. Tentunya
dengan dukungan berbagai pihak, sebab dalam belajar bahasa asing perlu
diberikan asumsi bahwa belajar bahasa asing itu mudah. Dan yang harus kita
lakukan adalah menerpkan berbagai metode dan pendekatan yang memungkinkan siswa
mudah memahaminya. Satu yang tak dapat kita pungkiri bahwa bahasa merupakan
satu bentuk kebiasaan.
10.Kegagalan Pendidikan Dan Pengajaran
Sebagai salah satu institusi yang
paling bertanggung jawab dalam pembinaan dan pengembangan bahasa, pendidikan
kita tampaknya gagal mengembangkan daya imajinatif peserta didik. Pengajaran
bahasa masih sarat dengan muatan struktur yang mengakibatkan anak didik
terbiasa berfikir structural. Padahal struktur hanya bagian kecil dari bahasa
Sedangkan pengajaran sastra seperti
dongeng, drama, roman sejarah dan sejenisnya belum berhasil membangun watak dan
jati diri anak didik dan mengembangkan daya kreatifitas mereka. Padahal lewat
sastra kita bisa mengasah kemahiran bahasa, melalui dongeng bisa dikembangkan
kesadaran bahwa hidup ini tidak mudah dan penuh cobaan dan toh manusia bisa
mengatasinya asal memiliki semangat dan etos kerja yang tinggi. Lewat roman
sejarah bisa dikembangkan persoalan kemasyarakatan, sebab roman sejarah bukan
hanya memberi informasi tentang peristiwa atau keadaan social, budaya ekonomi
tentang peristiwa atau keadaan social budaya ekonomi politik masa lalu,
melainkan juga menumbuhkan ikatan bathin suatu bangsa dengan masa lalunya.
Sulit diingkari bahwa kegagalan
pengajaran bahasa kepada anak didik kita telah melahirkan pemakai-pemakai
bahasa yang tidak bermatabat, sehingga yang terjadi adalah prilaku berbahasa
yang jauh dari nilai estetika karena mengandalkan emosi dan ambisi pribadi.
Bahasa menjadi piranti saling hujat dan menjatuhkan sebagaimana kita saksikan
pada realitas berbahasa masyarakat kita akhir-akhir ini.
Padahal kesatunan, prilaku bahkan
tingkat kemajuan kehidupan atau peradaban suatu bangsa terlihat dari bahasanya.
Kekayaan kosakata suatu bahasa memperhatikan kemajuan peradaban bangsa
pemiliknya. Sementara itu, keteraturan dan ketataasasan kaedah berbahasa kita
mengalami persoalan yang cukup serius. Kita dapat mencermati dalam masyarakat
betapa kata-kata yang ditulis dalam bahasa Indonesia dengan sangat jelas,
tetapi diucapkan dengan salah. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan
misalnya psikologi diucapkan saikoloji.
Menghadapi realitas pengunaan bahasa
demikian, pengajar bahasa memainkan peran sangat penting, bukan saja bagaimana
mengajar bahasa sesuai kaidah dan aturan sehingga menghasilan anak didik yang
mampu berbahasa dengan baik dan benar tetapi lebih dari itu adalah bagaimana
menanamkan gambaran kebangsaan kepada anak didik.Dalam amanatnya pada Kongres
Bahasa Indonesia VIII di Jakarta ( 17/10/2003) lalu Mendiknas Prof A Malik
Fadjar menyatakan bahwa pengajar bahasa harus kreatif melahirkan karya bagi
setiap generasi. Kita harus sadar bahwa bahan dapat melahirkan generasi yang
mampu menunjukkan orang-orang berperadaban.
Mengutip
amanat Malik Fadjar, untuk menyongsong kehidupan kedepan yang sangat
kompleks dan membangun peradaban bangsa dalam arti luas, serta mengantarkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa yang “bermakna “ setidaknya
terdapat lima upaya yang harus dilalui oleh para pakar, peminat dan pengajar
bahasa adalah
1.
Menanamkan dan menumbuhkan
keberaksaraan ( literacy) secara fungsional.
2.
Menekankan kemampuan berkomunikasi yang
baik.
3.
Menjalankan pendekatan keilmuan
4.
Memainkan peran pemeliharaan terhadap
temuan dan kelayakan bahasa.
5.
Memainkan peran pemugaran, pemeliharaan
dan perbaikan bahasa sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa yang hidup
dieraglobalisasi untuk ketahanan nasional.
Persoalan bahasa Indonesia sekarang ini
tidak bisa dipandang hanya sebagai sebuah symbol kebahasaan semata. Agar
memperoleh jawaban akar permasalahan secara komprehensif diperlukan cara
pandang linguistik dengan melibatkan analisis multidimensional artinya
permasalahan bahasa tidak saja dipandang sebagai persoalan linguistik semata,
tetapi juga persoalan social, budaya, dan politik. Sejauh ini perspektif baik
ilmu psikolinguistik maupun sosiolinguistik yaitu “ chaika” ( 1982) tampaknya
sangat tepat untuk memahami bahwa wajah dunia kebahasaan kita seperti sekarang
ini tentu tidak lepas dari kondisi masyarakat kita yang dari aspek social,
politik, ekonomi dan budaya memang sedang terpuruk. Dengan gambaran kebahasaan
kita saat ini memang sangat sulit untuk menggali otentisitas kebudayaan dan
peradaban kita. Wajar pula kija persoalan keindonesiaan kita memang mulai ada
yang mengungat.
11. Faktor-Faktor Bagi Keberhasilan
Pembelajaran Bahasa
Metode dan teknik pengajaran itu
bukanlah satu-satunya factor yang menentukan keberhasilan datau kegagalan
pengajaran bahasa. Keberhasilan pengajaran bahasa membutuhkan beberapa hal
sebagai factor penunjang yang antara lain dapat disebutkan sebagai berikut :
1.
Fasilitas Fisik, salah satu misalnya
ruang belajar yang jumlahnya memadai berdasarkan setiap ruang kelas sebaiknya
memuat hanya maksimum 30 orang pelajar.
2.
Textbook, textbook yang sesuai dengan
tujuan dan metode pengajaran, sebaiknya sudah tersedia lengkap sebelum program
pengajaran dimulai. Selanjutnya sewaktu-waktu adalah perlu textbooks tersebut
ditinjau kembali untuk disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan yang selalu
berubah dalam jangka waktu tertentu.
3.
Pengajar ( guru ) yang qualified.
Pelaksana program pengajaran bahasa adalah para pengajar bahasa yang
kwalitasnya sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan suatu metode yang sudah
dianggap baik. Karena itu pengadaan pengajar yang qualified ( berkelayakan )
mutlak perlu baik melalui program latihan, penataran atau pendidikan khusus,
dan sebagainya.
4.
Tujuan yang jelas. Betapapun baik dan
sempurna sesuatu metode pengajaran yang dipergunakan dan meskipun tersedia
tenaga pengajar yang berkelayakan, tetapi apabila tujuan program pengajaran
bahasa tidak jelas, maka tidak terjamin hasil dicapai dapat memuaskan. Dari itu
tujuan dari program pengajaran bahsa harus digariskan secara jelas dan dipahami
oleh semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengajaran bahasa.
5.
Lingkungan yang favourable. Pengaruh
lingkungan terhadap perasaan dan pemikiran seseorang adalah suatu hal yang tak
dapat diingkari, baik itu lingkungan itu berupa pergaulan manusiawi yang
dibentuk oleh sikap mental dan alam pemikiran masyarakat sekeliling prang itu
ataupun berupa keadaan tempat dimana ia itu hidup atau belajar. Mengingat hal
tersebut lingkungan yang menyenangkan dan membantu merupakan factor yang dapat
menunjang keberhasilan pengajaran bahasa.
6.
Pengaturan penyelenggaraan yang baik.
Pembagian tugas yang baik dan pengaturan waktu yang terkoordinir bagi
pelaksanaan masing tugas adalah merupakan factor yang besar pula pengaruhnya
sebagai factor penunjang keberhasilan program pengajaran bahasa.
Demikianlah beberapa hal yang patut
diutarakan sebagai factor penunjang bagi keberhasilan pelaksanaan pengajaran
bahasa, yang sudah tentu pengadaan dan pengaturan factor tersebut sepatutnya
mendapat perhatian dari para penyelengga pengajaran bahasa terutama bahasa arab.
Apabila pengajaran bahasa arab di Indonesia mencapai hasil yang lebih maju dan
lebih memuaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar